Sabtu, 21 September 2013

Profil Pesantren Man Ana

http://www.youtube.com/watch?v=g-D7LTjEHXQ

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya sudah tua sekali usianya, boleh dikatakan ada sejak permulaan penyebaran Agama Islam di Indonesia. Pada lembaga ini, dalam bidang keagamaan yang bernuansa tradisional, penyebaran ajaran Islam dikembangkan secara turun temurun. Jauh sebelum sekolah-sekolah umum berdiri, pesantren telah memainkan peran penting dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, baik untuk tingkat dasar, menengah maupun tinggi. Bahkan karena tuanya sistem pendidikan pesantren, Hasbullah menyebutnya sebagai “Bapak” pendidikan Islam di Indonesia. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam dimana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum. Peran pondok pesantren yang demikian luhur tersebut, tentunya memunculkan harapan dari masyarakat bahwa di pondok pesantren, ajaran dan tradisi keislaman dapat terus dilestarikan.

Tak dapat dipungkiri, adanya diferensiasi model pesantren menjadi pesantren modern (khalaf) dan pesantren tradisional (salaf), juga membawa efek pada perubahan tradisi yang berlaku. Pesantren modern identik dengan memudarnya nilai-nilai “moral pesantren” yang merupakan prinsip pendidikan pesantren, yang tentunya sangat berbeda dengan pesantren tradisional yang masih memegang teguh prinsip-prinsip tersebut. Meski demikian, ternyata masih ada pesantren modern yang tetap menjaga dan memelihara tradisi pesantren yang luhur, salah satunya Pondok Pesantren Modern Man Ana yang ada di wilayah kampung Susukan Desa Gunung Picung, kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pondok pesantren yang berlokasi sekitar ± 36 km arah selatan kota Bogor ini, terbilang cukup asri. Lokasinya yang persis berada di puncak Gunung Picung, membuat keberadaan pesantren ini bisa dilihat dari daerah-daerah sekitarnya yang lebih rendah. Kendati baru seumur jagung, tapi sarana dan fasilitas yang dimiliki pesantren ini terbilang cukup memadai untuk kegiatan belajar mengajar para santri. Selain asrama, ruang kelas, masjid yang menjadi pusat kegiatan santri, tersedia juga koperasi sekolah, lapangan olahraga, perpustakaan dan laboratorium komputer.  

Sekilas Tentang Pesantren Man Ana
Berdirinya Pondok Pesantren Modern Man Ana yang merupakan “anak” dari Pesantren Yatim dan Dhuafa Al-Irsyad Ciputat, berawal dari kegundahan KH. Mahfudin Arsyad, pengasuh pesantren, yaang menyaksikan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Jurang kemiskinan mengaga lebar, menyebabkan banyak orang tua tak mampu membiayai anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan. Berangkat dari kepedulian itulah, KH. Mahfudin Arsyad, “mempondokkan” rumshnya di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan. Anak-anak yang orang tuanya tak memiliki biaya untuk sekolah, dibantu pembiayaannya. Anak-anak yatim dan yatim piatu, dirangkulnya untuk tinggal bersama di bawah satu atap. Menurut KH. Mahfudin Arsyad, awalnya ia hanya merawat satu-dua anak tetangga yang yatim dan dhuafa. Anak-anak tersebut dibiayai sekolahnya dan diberikan uang setiap bulan untuk biaya kebutuhan hidupnya. “Kondisi itu berlangsung sekitar tahun 2002. Saat itu saya masih bekerja di salah satu perusahaan BUMN yaitu PLN sebagai supir,” ucap kyai muda kelahiran Jakarta, 22 Juni 1978 ini.

“Alhamdulillah setelah merawat mereka, rezeki dari Allah makin bertambah. Malah belakangan kemudian saya diangkat menjadi area manajer di wilayah Ciputat. Barangkali ini keberkahan merawat anak-anak yatim,” ungkap KH. Mahfudin. Lebih lanjut, alumnus Pondok Pesantren Daarul Qalam Gintung ini menjelaskan, dari yang awalnya hanya satu dua orang yatim yang tinggal bersamanya, berbilang tahun jumlahnya bertambah banyak. Maka kemudian secara formil, ia pun membentuk Pesantren Yatim dan Dhuafa Al-Irsyad pada 2004, meski saat itu pendidikan formal para santri masih diserahkan kepada sekolah-sekolah formal di luar lingkungsn pesantren. Perkembangan Pesantren Yatim dan Dhuafa yang terus maju ditambah jumlah santri yang kian meningkat, sehingga lingkungan di Ciputat dirasa tidak kondusif lagi bagi kegiatan pesantren, maka sekitar tahun 2011 dibangunlah Pondok Pesantren Modern ‘Man Ana’ di wilayah Gunung Picung, Pamijahan, Bogor Jawa Barat, yang kemudian diresmikan pada 9 Juli 2011.

Secara umum, menurut kyai muda yang menyelesaikan jenjang pendidikan S1 nya di Univeristas Muhammadiyah Jakarta ini, tiga fungsi utama Pesantren modern Man Ana adalah pertama, sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); kedua, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial kemasyarakatan (social control); dan ketiga, sebagai lembaga keagamaan yang melakukan pengembangan masyarakat (community development). “Keberlangsungan fungsi ini dipelihara dengan menggunakan prinsip perawatan akan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik (al-muhafazah ‘ala al-qodim al –salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah),” jelas kyai yang kerap melakukan dakwah ke mancanegara ini, semisal Jepang, Hongkong dan Macau.

Nama dan Logo Pesantren
Satu hal yang menarik dari pesantren ini adalah soal nama yang relatif berbeda dengan pondok pesantren modern lain yang umumnya menggunakan nama Darul seperti Darul Qolam, Darur Rahman, Darus Salam. Ataupun nama dari pendirinya, semisal Asy-Syafi’iyah, Ath-Thahiriyah dan lainnya. Menjawab hal ini, kyai yang menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Asia Afrika ini menjelaskan bahwa nama Man Ana tersebut diambil sebagai bentuk ta’zim (penghormatan) kepada gurunya semasa di pesantren Daarul Qolam yakni allahuyarharm almaghfurlah KH. Ahmad Rifa’i Arif.

“Dahulu beliau selalu bilang kepada kami para santrinya, is-al kafa binafsika, man ana (tanyakan kepada dirimu sendiri, siapa saya?). Awalnya saya cuma bisa menghafal dan mengingat ucapan beliau. Tapi belakangan, setelah makin dewasa dan kian dalam mengkaji ilmu agama, saya baru faham ucapan beliau yang sesungguhnya sangat filosofis dan menggugah kesadaran terdalam kita,” urai KH. Mahfudin. “Itulah sebabnya kemudian, kenapa pesantren ini saya beri nama Man Ana. Karena saya ingin para penduduk pesantren saya, masing-masing bertanya pada dirinya sendiri, ‘siapa saya?’ Sehingga ketika mereka menjawab, ‘saya adalah ustadz pengajar ilmu agama,’ maka ia akan malu ketika melakukan suatu perkara yang bertentangan dengan agama. Ketika mereka menjawab, ‘saya adalah seorang santri,’ maka mereka pun malu jika melakukan suatu perbuatan yang bukan perbuatan lazimnya seorang santri. Yang lebih saya inginkan lagi adalah ketika mereka menjawab, ‘saya adalah hamba Allah yang diciptakan oleh-Nya sebagai washilah atau perantara Allah untuk menutupi kebutuhan manusia yang sedang dahaga akan agama,” jelas KH. Mahfudin panjang lebar.

Tak hanya nama, logo pesantren ini juga terbilang cukup unik, yaitu berupa sebuah tanda tanya besar dikelilingi tujuh buah bintang dan ditopang kaligrafi kalimat laa ilaha illallah muhammadur rasulullah berbentuk bulan yang kesemuanya ditopang oleh sebuah pita yang juga menjadi nama dari pesantren.  

Lestarikan Tradisi Mencium Telapak Tangan
Keunikan lain yang terdapat di pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal tingkat SMP dan SMA ini adalah dilestarikannya tradisi mencium telapak tangan yang nota bene sekarang ini sudah tidak ditemukan di pesantren modern manapun. Bagi KH. Mahfudin, mencium telapak tangan ustadz, bukan sekedar pelestarian tradisi tapi lebih jauh dari itu adalah penanaman nilai-nilai akhlak bagi para santri. “

Kita tahu, Islam mengajarkan ummatnya tentang barokah dan takzim serta penghormatan seorang murid kepada gurunya. Namun hal tersebut sekarang ini dikecohkan oleh orang-orang kafir barat yang mengatas namakan modernisasi, dengan mengatakan bahwa semua manusia adalah sama. Tidak perlu mengagungkan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan sampai kepada pernyataan radikal bahwa Muhammad saw, juga adalah manusia yang sama. Beliau pun bisa salah dan tidak perlu menghormatinya secara berlebihan. Ini merupakan salah satu program pemurtadan yang diluncurkan oleh orang-orang kafir dan musyrik untuk memporak porandakan kaum muslim,” ungkap KH. Mahfudin.

“Dahulu para santri begitu sungkan ketika bertemu, apalagi berhadapan dengan kyainya. Namun kini, karena hasutan dan doktrin sesat modernisasi, seorang santri sudah berani memanggil kyainya dari jarak yang agak jauh. Tragis! Kalau sudah seperti itu, hilanglah wibawa seorang kyai, yang akhirnya segala petuahnya tidak lagi menjadi sebuah fatwa. Ketika seseorang sudah tidak lagi menghargai petuah-petuah ulama, hanya akan menciptakan alur kehidupan manusia makin semrawut. Yang bodoh makin bodoh. Yang miskin makin miskin, yang ngebelangsak juga makin nyungseb. Ya, karena itu tadi. Sudah tidak ada lagi nasehat yang dapat diterima oleh hatinya,” jelas KH. Mahfudin miris.

“Itulah sebabnya,” lanjutnya, “meski di pesantren ini diajarkan berbagai hal yang bersifat modern, penanaman akhlak kepada santri tetap jadi prioritas utama. Dan salah satunya, dengan mencium telapak tangan ustadznya. Kalau mencium punggung tangan merupakan bentuk takzim, maka mencium telapak tangan merupakan sebuah pengharapan keberkahan ilmu dari ustadznya,” tegas KH. Mahfudin.

Jadwal Shalat

Prayer Times For 6 Million Cities Worldwide
Country:

Rabu, 14 November 2012

MUHADHARAH PONPES Man Ana Dari Gunung Picung ke Hongkong


Sejatinya Islam adalah agama dakwah yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah, sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Seseorang yang memiliki kemampuan berdakwah melalui tulisan, maka hendaknya ia mengoptimalkan kemampuannya. Demikian pula dengan orang yang memiliki kemampuan berbicara yang baik, dituntut untuk berdakwah melalui retorika yang mampu memikat jamaah.

Sebagai sebuah taklifi, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, kewajiban berdakwah tentu bukan hanya sebatas bentuk ketaatan kepada perintah Allah, tapi lebih dari itu merupakan pengabdian kepada kebenaran. Bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar dan menyelamatkan, maka ajarannya yang luhur harus disampaikan kepada setiap manusia.
Menurut Abu Zahra (1994:155), seorang da’i harus memiliki karakteristik hati yang ikhlas, mengetahui retorika dan media, memahami isi Al-Qur’an dan sunnah, serta menjauhkan diri dari hal yang haram dan subhat.

Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut tentunya dengan upaya mempersiapkan dan menyediakan kader-kader da’i (mubalig) yang memiliki persiapan mental dan intelektualitas mumpuni, sehingga akan tercetak guru, da’i, atau bahkan kiai dan ulama yang mempunyai pengetahuan agama luas. Berkaitan dengan hal tersebut, Pondok Pesantren Modern Man Ana sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki fungsi sebagai tempat pengajaran, pemahaman, dan pendalaman ajaran Islam, berupaya menyikapi realita tersebut dengan mengadakan sebuah aktivitas mingguan yang di dalamnya berisi pembelajaran mengenai teknik-teknik berbicara di depan orang banyak dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah yang dikenal dengan istilah muhadharah.

Sebagaimana difahami bahwa definisi muhadharah bisa diidentikan dengan kegiatan latihan pidato atau ceramah yang ditekankan pada skill santri dalam mengolah tata aturan atau segala hal yang terkait dalam proses tersebut. Kegiatan muhadharah ini bertujuan mendidik santri agar terampil dan mampu berbicara di depan khalayak untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. 

Menurut Asmuni Syakir (1982: 104), kegiatan muhadharah identik dengan khitabah yaitu merupakan pengetahuan yang membicarakan dan mengkaji tentang cara berkomunikasi dengan menggunakan seni atau kepandaian berbicara (berceramah). Khitabah ini sering dikatakan suatu teknik atau metode dawah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara seorang da’i pada suatu aktivitas da’wah.

Dalam muhadharah, santri diajarkan untuk berceramah dengan penguasaan, teknik, materi, dan gaya bahasa yang baik sehingga mampu menarik pendengar. Melalui kegiatan muhadharah, santri dilatih berbicara di depan orang banyak (teman-temannya) layaknya seorang da’i yang sedang berdakwah menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.

Menurut ustadz Afwan Rosyadi, Ketua Bagian Bahasa di Ponpes Man Ana, muhadharah merupakan salah satu program unggulan dari Pondok Pesantren Man Ana yang kegiatannya diselenggarakan seminggu tiga kali, dengan menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia setiap jumat malam, bahasa Arab setiap sabtu malam dan dengan bahasa Inggris pada minggu malam.  

“Kegiatan muhadharah ini diadakan dengan tujuan agar para santri memiliki bekal dan keberanian untuk berbicara di depan orang banyak serta memiliki pengetahuan yang luas ketika tiba saatnya bagi mereka mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat,” ucap alumni Pondok Pesantren La Tansa ini. “Pada prakteknya, setiap santri diajarkan untuk mampu berceramah dalam tiga bahasa tadi.”

Lebih lanjut, ustadz Afwan menjelaskan bahwa kegiatan muhadharah ini dibagi sesuai dengan jenjang pendidikan santri di Ponpes Man Ana, yaitu tingkat SMP dan SMA. “Masing-masing tingkatan akan dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berisi 5-10 orang di bawah bimbingan seorang ustadz atau ustadzah. Pembimbing tersebutlah yang kemudian membantu santri menyiapkan materi ceramah dan mengajarkan retorika serta teknik-teknik yang baik dalam berdakwah.”

From Gunung Picung to Hongkong
Berbeda dengan pondok pesantren lain yang umumnya juga memiliki kegiatan muhadharah, pondok pesantren yang terletak di Gunung Picung sekitar ± 36 km arah selatan kota Bogor ini, tak sebatas hanya melatih santri untuk ceramah tapi juga langsung diaplikasikan ke tengah masyarakat. Tak tanggung-tanggung, santri yang dianggap memiliki kualifikasi yang baik dan lolos seleksi, diberangkatkan ke Hongkong untuk ceramah bersama dengan pengasuh pondok, KH. Mahfudin Arsyad.

Menurut KH. Mahfudin Arsyad, setiap 3-6 bulan sekali, dirinya mempunyai jadwal khusus untuk berdakwah ke Hongkong atau Macau. Kesempatan itulah yang kemudian dimanfaatkan sebagai ajang unjuk kemampuan para santri dengan mengajak mereka turut serta.

“Program ceramah ke luar negeri ini memang sengaja dirancang agar santri bisa benar-benar merasakan aura dan suasana dakwah yang sebenarnya. Apalagi mereka juga akan berceramah dalam tiga bahasa seperti yang biasa mereka lakukan di pondok. Kalau hanya ceramah di depan teman-temannya yang notabene memiliki pengetahuan yang sama, tentu tidak akan ada tantangan. Berbeda ketika mereka terjun langsung ke masyarakat, khususnya ke Hongkong atau Macau yang audiensnya berlatar belakang BMI (Buruh Migran Indonesia),” ungkap KH. Mahfudin Arsyad. “Sebelum berangkat ke Hongkong, mereka akan diseleksi secara ketat melalui proses audisi. Dengan begitu, mereka akan terpacu dan termotivasi untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan sehingga akan siap jika kelak terjun ke masyarakat,”  tambahnya.

Senada dengan KH. Mahfudin Arsyad, Haflah Alfinas, salah seorang santri yang ceramah ke Hongkong pada 26 Februari 2012 lalu mengatakan bahwa dirinya merasakan suasana yang sangat berbeda ketika ceramah di hadapan jamaah umum dibandingkan di depan teman-temannya. “Waktu pertama kali naik ke panggung emang agak sedikit grogi, karena itu pengalaman pertama ceramah di depan banyak orang. Tapi lama-lama akhirnya biasa aja,” ucap santri yang duduk di bangku kelas I SMA ini. “Insya Allah pengalaman ini akan terus saya ingat seumur hidup dan menjadi pendorong bagi saya untuk terus belajar,” tambahnya.
Tak berbeda dengan Haflah Alfinas, Silvianingsih, santriwati yang berkesempatan ceramah ke Hongkong pada 20 Mei 2012 lalu, mengaku kalau latihan muhadharah yang dilakukan setiap minggu, sangat membantu ketika berhadapan dengan jamaah. “Mental kita benar-benar diuji. Kalau di depan teman, kadang ada yang memperhatikan isi ceramah, kadang ngga. Tapi kalau jamaah umum, semuanya pasti mendengarkan. Makanya butuh persiapan yang matang,” tuturnya.

Santri lain yang juga pernah berceramah keluar negeri adalah Hafsah Al-Irsyad, yang saat ini baru duduk di kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah.

Sebagai sebuah program jangka panjang, apa yang dilakukan Ponpes Man Ana merupakan sebuah potongan puzzle yang melengkapi grand desain aktivitas dakwah keislaman yang telah dilakukan berbagai lembaga dakwah atau ormas keislaman selama ini. Dari kawah candradimuka inilah diharapkan kelak akan muncul para da’i atau mubalig yang fasih dalam ilmu agama dan responsif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Sebab tantangan dakwah ke depan tentunya akan kian kompleks seiring dengan makin beragamnya persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. (red)